Cirebon – Perkenalkan namanya Satu. Sudah bertahun-tahun ia menjadi abdi dalem Keraton Kasepuhan, Cirebon. Tangannya hafal betul bilah-bilah pusaka yang disimpan di dalam museum keraton. Keris, tombak, kujang, pedang, semua dirawatnya dengan telaten. Setiap bulan Muharram, Satu menjadi salah satu sosok yang paling sibuk.

Siang itu, Rabu (2/7), ia berdiri di dekat meja panjang di dalam Museum Pusaka. Di hadapannya, beberapa bilah pusaka yang baru direndam tersusun rapi. Tangannya sigap mengelap setiap bilah pusaka dengan kain putih, memastikan tak ada air yang tersisa.

Sementara itu, sejumlah abdi dalem lainnya juga nampak sibuk melakukan hal serupa, merawat dan memandikan pusaka. Suasana di ruangan terasa khidmat. Kepulan asap ukup perlahan memenuhi udara, menyebarkan aroma khasnya.

Saat itu, jamasan tengah berlangsung. Tradisi yang digelar di Museum Pusaka Keraton Kasepuhan ini menjadi bagian penting dalam kehidupan keraton.

Setiap pusaka dikeluarkan dari tempat penyimpanannya untuk dibersihkan, dimandikan, dan dirawat dengan cara-cara yang diwariskan dari generasi ke generasi.

“Air kelapa ini untuk perendaman. Kalau bendanya seperti keris, tombak dan pedang karatnya banyak, direndamnya lama, bisa sampai dua hari,” terang Satu sembari menunjuk wadah berisi air berwarna putih.

Usai direndam, pusaka lalu digosok dengan jeruk nipis. Jika karat membandel, proses ini dilakukan berulang kali. “Kalau karatnya banyak ya digosoknya bisa berulang-ulang,” katanya sambil tersenyum tipis.

Setelah melewati proses itu, pusaka lalu dibilas. Air bilasan yang digunakan pun bukan air biasa. “Air untuk jamasan ini air khusus, dari sumur Kemandungan yang ada di keraton,” lanjutnya.

Setelah bersih, pusaka dimandikan air kembang sambil dilantunkan salawat. Lalu dikeringkan, diolesi minyak singer, dan diberi minyak wangi dari campuran melati, mawar, dan misik putih. “Minyak wanginya minyak melati, mawar, misik putih, dicampur,” ujar Satu.

Bagian terakhir adalah pengasapan. Ukup dibakar dalam wadah tanah liat, asapnya menguar di udara, mengalir perlahan ke permukaan bilah pusaka yang telah dibersihkan. “Saat diasapi, itu juga ada doa-doanya,” tambahnya.

Prosesi jamasan di Keraton Kasepuhan/(Foto: Cirebon Pulse)

Bagi Satu, setiap langkah dalam prosesi jamasan bukan sekadar ritual. Ia adalah bentuk penghormatan. Doa-doa terus dilantunkan selama proses jamasan berlangsung. Satu tidak sendiri, sejumlah abdi dalem lainnya juga ikut terlibat dalam prosesi jamasan benda pusaka.

Sementara Satu dan sejumlah abdi dalem lainnya sibuk memandikan pusaka, di ruangan lain kereta kencana Singa Barong berdiri megah. Tak seperti pusaka lain yang dibawa keluar dari tempat penyimpanan, kereta ini dirawat langsung di tempatnya berada.

Dibuat pada tahun 1549 oleh Pangeran Losari, Kereta Singa Barong memiliki bentuk unik, memadukan unsur burung, gajah, dan naga. Pada masanya, kereta ini digunakan oleh Sultan untuk menghadiri upacara adat.

“Tanggal 5 Muharram, kami melaksanakan jamasan Kereta Singa Barong. Prosesinya diawali dengan doa. Kemudian kami menyiapkan air yang sudah disiapkan dengan kembang melati dan mawar,” ujar Patih Sepuh Keraton Kasepuhan, Pangeran Raja Goemelar Soeryadiningrat.

“Selain itu, kami juga sudah menyiapkan wewangian yang kita bikin, ukup namanya,” tambahnya.

Ia menjelaskan, ukup bukan hanya untuk mengharumkan ruangan, melainkan memiliki fungsi lain dalam proses perawatan benda pusaka seperti Kereta Singa Barong.

“Sejak dulu, ukup itu untuk mengawetkan kayu, selain sebagai wewangian,” katanya.