CIREBON – Di pesisir Kabupaten Cirebon, tersembunyi sebuah pantai yang mungkin tak terlalu dikenal oleh banyak orang, tetapi menjadi pusat kehidupan dan harapan bagi masyarakat setempat. Pantai Baro, dengan segala keindahan dan keasriannya, menjadi saksi bisu dari kehidupan para nelayan dan pengrajin ikan teri asin yang menjadikan pantai ini sebagai rumah.
Seiring matahari terbit, suara ombak yang berdebur bercampur dengan aroma asin khas laut menyambut perahu-perahu nelayan yang kembali dari laut. Mereka membawa hasil tangkapan yang melimpah, namun ikan teri tetap menjadi primadona di antara hasil laut lainnya. Ikan-ikan kecil ini kemudian diproses dengan teliti, mengikuti tradisi yang telah diwariskan turun-temurun oleh penduduk setempat.
Salah satu penjaga tradisi ini adalah Udin, seorang ayah dari tiga anak yang telah lima tahun terakhir mengabdikan dirinya pada produksi ikan teri asin. Di bawah terik matahari yang membakar, Udin terlihat telaten mengawasi proses penjemuran ikan teri, sebuah tahap krusial yang akan menentukan kualitas produk akhirnya.
“Ikan teri ini saya dapatkan dari nelayan sini sih, tapi kalau permintaan banyak saya juga ngambil ikan terinya dari daerah Jawa Tengah,” ungkap Udin seperti dikutip dari laman Diskominfo Kabupaten Cirebon, Sabtu (24/8/2024).
Produk ikan teri asin buatannya tidak hanya diminati di pasar lokal, tetapi juga tersebar hingga ke Jakarta dan Palembang. Gurih dan renyahnya ikan teri asin produksi Pantai Baro telah membuatnya menjadi favorit di berbagai kota besar, terutama menjelang hari-hari besar seperti Lebaran dan Natal.
Namun, di balik kelezatan dan popularitas ikan teri asin ini, terdapat proses panjang yang membutuhkan ketelitian dan keahlian khusus. “Proses pembuatan teri asin ini tidak mudah. Mulai dari pemilihan ikan yang berkualitas, proses penggaraman, hingga penjemuran yang harus pas, semua itu butuh keahlian khusus,” ujar Udin sambil menunjukkan hamparan teri yang sedang dijemur.
Menurutnya, perebusan ikan teri memakan waktu tiga hingga empat jam, diikuti dengan proses penggaraman yang menjadi kunci kelezatan. Setelah itu, ikan teri ditiriskan dan dijemur di bawah sinar matahari hingga kering sempurna. Cuaca menjadi faktor yang sangat menentukan. “Kalau cuaca panas paling penjemuran cukup setengah hari saja, tapi kalau cuaca tidak mendukung, proses penjemuran bisa memakan waktu lebih lama dan kualitas teri asin pun bisa menurun,” katanya.
Di tengah keberhasilan industri ikan teri asin ini, Udin dan para pengrajin lainnya menghadapi tantangan baru. Harga ikan teri asin mengalami penurunan, dari Rp35 ribu per kilogram menjadi Rp33 ribu. Penurunan harga ini dipicu oleh melimpahnya pasokan ikan teri dari luar Pulau Jawa, yang menyebabkan persaingan semakin ketat.
Meski begitu, bagi Udin dan warga Pantai Baro lainnya, produksi ikan teri asin tetap menjadi sumber penghidupan yang tidak tergantikan. Industri ini tidak hanya menopang kehidupan keluarga mereka, tetapi juga membuka lapangan kerja bagi warga sekitar, yang bekerja sambil tetap bisa mengurus keluarga.
Di balik setiap butir ikan teri asin yang gurih dan renyah, terdapat cerita perjuangan dan dedikasi para pengrajin di Pantai Baro. Tradisi ini bukan hanya soal bisnis, tetapi juga soal warisan budaya yang terus dijaga dan dilestarikan dari generasi ke generasi. Pantai Baro mungkin kecil, namun peranannya dalam menjaga tradisi dan memberikan harapan bagi banyak orang tidak dapat dipandang remeh. (CP)